Barakallahu fiikum

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal."
(QS. Yusuf: 111)

Total Tayangan Halaman

Jumat, 06 November 2009

FITNAH IBNU MUTHI'

ALLAH Azza wa Jalla berfirman:
"Sungguh benar-benar pada kisah mereka itu ada ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang memiliki akal." (Yusuf: 16)

Menyelisihi ulama bisa berakibat sangat fatal. Banyak kisah orang-orang terdahulu yang menyelisihi ucapan ulama berakibat dengan kehancuran.

Dalam sejarah Islam, kejadian Al Harrah adalah kejadian yang sangat masyhur sekaligus sangat menyedihkan. Orang yang mendengarnya akan berlindung kepada Allah darinya. Mulanya ketika Yazid bin Muawiyah menjabat sebagai khalifah setelah ayahnya, terdengar berita-berita buruk tentangnya, khususnya berita tentang maksiat-maksiat yang dilakukannya. Sampai berita itu kepada kaum muslimin, di antaranya Abdullah bin Muthi'. Mendengar hal itu, bangkit ghirah keagamaannya.

Ringkas cerita, ia bertekad mencabut bai'atnya terhadap Yazid dan melakukan kudeta. Maka ia mengirim utusan guna mengultimatum Yazid dan mengajaknya untuk taat kepada Allah dan diberi waktu sampai tiga hari. Sepulangnya mereka ke Madinah, Abdullah bin Muthi' bersama rekan-rekannya mendatangi Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin Abi Thalib. Mereka menginginkan beliau untuk bersama-sama memberontak Yazid, tapi beliau menolaknya. Berkatalah Ibnu Muthi': "Sesungguhnya Yazid minum khamr, meninggalkan shalat dan melanggar hukum Al Qur'an."

Muhammad bin Hanafiyah menjawab: "Saya tidak melihat padanya apa yang kalian sebutkan, dan saya pernah mendatanginya bahkan tinggal di sana, justru yang saya lihat dia selalu shalat, mencari kebaikan, bertanya masalah fiqh dan berpegang kuat dengan sunnah."

Mereka menyatakan: "Itu dibuat-buat karena di hadapanmu."

Jawabnya: "Apa yang dia takuti atau harapkan dariku sehingga dia perlu menampakkan kekhusyukannya di hadapanku? Apakah dia menampakkan kepada kalian meminum khamr? Jika dia menampakkannya kepada kalian yang demikian berarti kalian sama dengan dia, tapi jika tidak maka tidak halal buat kalian bersaksi tentangnya sesuatu yang kalian tidak ketahui."

Mereka katakan: "Sesungguhnya menurut kami benar adanya walaupun kami tidak melihatnya."

Beliau menjawab: "Allah menolak yang demikian pada orang yang bersaksi. Firman-Nya: 'Kecuali orang yang bersaksi dengan Al Haq sedang mereka mengetahui." Saya tidak ikut-ikutan urusan kalian sedikitpun."

Mereka katakan: "Mungkin engkau tidak suka kalau yang memimpin selainmu, jika demikian kami jadikan engkau pimpinan kami."

Beliau menjawab: "Saya tidak menghalalkan pemberontakan ini sebagaimana yang kalian inginkan dariku baik saya jadi pimpinan atau yang dipimpin."

Mereka katakan: "Dulu engkau ikut bersama ayahmu berperang (yakni melawan Muawiyah, semoga Allah ridha kepada mereka.)"

Jawabnya: "Datangkan kepada saya orang yang seperti ayahku, aku akan memerangi seperti yang diperangi ayahku."

Mereka katakan: "Kalau begitu perintahkan pada anakmu Abdul Qosim dan Qosim untuk berperang bersama kami."

Beliau menjawab: "Kalau aku perintah keduanya aku juga akan berperang."

Mereka katakan: "Kalau begitu bangkitlah bersama kami untuk sekedar menganjurkan orang berperang bersama kami."

Beliau menjawab: "Subhanallah, apakah aku akan memerintahkan orang sesuatu yang saya tidak melakukan dan meridhainya. Kalau begitu saya tidak punya keinginan-keinginan baik pada hamba-hamba Allah."

Mereka katakan: "Kalau begitu kami akan membencimu."

Beliau menjawab: "Kalau begitu aku akan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah dan tidak mencari ridhanya makhluk dengan kemurkaan Allah." Lalu beliau pergi ke Makkah.

Datang Abdullah bin Umar kepada Abdullah bin Muthi', maka Ibnu Muthi' menyatakan: "Berikan bantal kepada Abi Abdirrahman (yakni Ibnu Umar)."

Ibnu Umar menjawab: "Saya tidak datang kepadamu untuk duduk, akan tetapi aku datang untuk memberitahumu sebuah hadits yang pernah saya dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau bersabda:
"Barangsiapa mencabut tangannya dari bai'at, ia akan bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal sedang tiada bai'at di lehernya dia akan meninggal seperti meninggalnya orang-orang jahiliyah." (Shahih, HR. Muslim bersama kisahnya)

Ibnu Katsir menuturkan: "Ketika orang-orang Madinah keluar dari ketaatan Yazid dan menjadikan sebagai pimpinan mereka Ibnu Muthi' dan Ibnu Handhalah, mereka tidak menyebutkan tentang Yazid -mereka adalah orang-orang yang sangat benci terhadapnya- kecuali bahwa Yazid minum khamr dan melakukan hal-hal yang kotor... Sedang Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma dan banyak dari keluarga Nabi tidak mencabut bai'at dari Yazid bin Muawiyah. Ibnu Umar bahkan mengumpulkan anak-anak dan keluarganya kemudian menyatakan: 'Sungguh kita telah berbai'at atas orang ini di atas bai'at kepada Allah dan Rasul-Nya dan sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Sungguh orang yang berkhianat, nanti pada hari kiamat akan ditancapkan untuknya sebuah bendera, lalu dikatakan ini adalah pengkhianatan fulan. (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi. Lihat Shahibul Jami' 1682)

Dan sungguh, termasuk pengkhianatan yang paling besar -selain syirik kepada Allah- seorang yang berbai'at kepada orang lain di atas bai'at kepada Allah dan Rasul-Nya lalu ia membatalkannya. Maka jangan seorangpun dari kalian membatalkan bai'atnya dari Yazid dan jangan seorangpun dari kalian melebihi batas dalam masalah ini sehingga menjadi pemisah antara aku dan dia'."

Pada tahun 63 H sampai berita kepada Yazid bahwasanya orang-orang Madinah ingin memberontak dan keluar dari kepemimpinannya. Maka ia mengirim tentara yang cukup besar dengan perintah memerangi mereka yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah. Mereka diperingatkan untuk kembali taat kepada Yazid bin Muawiyah dalam waktu tiga hari. Jika tidak mereka akan memasuki kota Madinah dengan pedang. Akhirnya tentara-tentara itu membunuh, merampas, dan menyingkap kehormatan wanita. As Suyuthi menukilkan dari Hasan Al Bashri, ucapannya: "Demi Allah hampir-hampir tidak selamat darinya seorangpun."

Beberapa shahabat meninggal dalam kejadian itu, di antaranya Buraidah bin Khushaib dan Ummu Salamah. (Bidayah dan Nihayah: 8/232-233, Wasiyat Kubra Ibnu Taimiyah: 45 Tarikh Khulafa': 237-238 Mu'amalatul Hukkam: 19-22)

Sungguh menyediakan kejadian itu, kota Madinah yang Allah muliakan, para shahabat yang Allah ridhai, wanita-wanita yang Allah kasihi, semuanya seakan tak bernilai dalam kejadian itu. Apa sebenarnya sebabnya? Nampak jelas dari kisah itu bahwa sebabnya mereka tidak mengambil nasehat para ulama dalam fitnah ini. Mereka lebih mengikuti dorongan semangat dan ghirah keagamaan yang tidak dilandasi dengan ketakwaan yang hakiki dan ilmu yang mapan. Jadikanlah kisah ini sebagai pelajaran.
Wallahu a'lam bish shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 01/I/Shafar/1424 H/April 2003, hal. 16-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar